Refleksi Kebijakan Program Perbaikan Kampung Terpadu (MHT Plus) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Jakarta, walaupun mendapat predikat kota –Mega Politan-, namun nyatanya masih memiliki permasalahan pada permukiman, yakni masih banyaknya terdapat permukiman kumuh yang menghiasi sudut-susdut kota Jakarta. Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) DKI Jakarta di Balaikota, Selasa, 5/5/2009, terpaparkan bahwa jumlah RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta berjumlah sekitar 265 RW[1]. Di Jakarta Barat terdapat 97 RW kumuh yang berada di 40 Kelurahan dan 8 Kecamatan, di Jakarta Timur, terdapat 51 RW kumuh. Di Jakarta Pusat sebanyak 69 RW, terdiri dari 24 Kumuh Ringan, 41 Kumuh Sedang dan 4 Kumuh Berat. Sedangkan di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, dari total 24 RW terdapat 4 RW termasuk RW Kumuh. Di Jakarta Utara berdasarkan data pada 2008, terdapat 79 RW kumuh. Adapun di wilayah Jakarta Selatan terdapat 44 RW kumuh, terdiri dari 31 RW Kumuh Sedang dan 13 RW Kumuh Ringan.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut Pemerintah DKI Jakarta melakukan berbagai macam upaya untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Diantara program yang dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk menanggulangi permasalahan permukiman adalah dengan digulirknnya program perbaiakan kampung terpadu atau yang lebih dikenal dengan nama Program Muhammad Husni Thamrin (MHT). Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) merupakan program yang digulirkan dalam rangka mewujudkan visi jakarta (2007-2012) yaitu “Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”. Untuk mewujudkan visi yang ditetapkan, maka misi yang digagas adalah : Membangunan tata pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-kaidah “good governance”; melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima; memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan; membangun prasarana dan sarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan; menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan[2].

 

 

Sejarah Program MHT Jakarta

Program peningkatan kampung atau yang biasa dikenal sebagai proyek Muhammad Husni Thamrin merupakam suatu program yang digulirkan sejak tahun 1969 oleh pemerintahan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pada awalnya nama dari program ini adalah pembangunan kualitas kampung ( kampung improvement project – Jakarta Urban Development Project/ JUDP). Focus dari program ini adalah penataan pemukiman kumuh yang berada di wilayah Jakarta. Program ini terus berkembang dan dikembangkan hingga hari ini dan kemudian dikenal dengan nama kampung improvement program/Project Muhammad Husni Thamrin (KIP/MHT). Awalnya program ini berfokus pada pembenahan sarana dasar fisik saja namun kemudian fokusnya lebih holistic dengan konsep Tri Binanya yaitu bina sosial, bina ekonomi, dan bina fisik.

Program perbaikan kampung ini, yang dilakukan semenjak gubernur Ali Sadikin memerintah didasarkan pada program pemerintah Belanda yang dinamakan dengan kampoengverbetering yang dilaksanakan di Batavia sejak tahun 1934. Kemudian Gubernur Ali Sadikin melanjutkan program belanda tersebut ditahun 1969. Pada tahun 1969, 60% (sedikitnya 3 juta jiwa) dari 4,8 juta penduduk Jakarta, hidup di permukiman kumuh. Menghadapi masalah itu, diperkenalkan proyek perbaikan kampung bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin yang berlangsung dengan sukses sampai 1999. Paradigma terhadap kampung yang semula dianggap bermasalah, akhirnya memiliki jalan keluarnya; apa yang dinamakan Turner dengan urban sebagai solusi (urban as solution), sebuah pendekatan yang melibatkan komunitas, sehingga model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif.

Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) berkembang dari 1969 sampai 1999. Badan-badan internasional, seperti Bank Dunia dan UN Habitat, menilainya sebagai proyek yang berhasil memperbaiki kualitas lingkungan kumuh dan kualitas hidup penghuninya, dengan biaya rendah. Tidak kurang dari 5,5 juta penduduk Jakarta menerima manfaat dari model pendekatan ini. Dalam lingkup nasional, setidaknya 15 juta penduduk yang diam di lebih dari 400 kota di Indonesia menerima manfaat serupa.

Sejak awal, misi proyek MHT adalah investasi kemanusiaan, atau perbaikan sosial (social betterment) menurut Melvin Mark, yang dijabarkan sebagai kebijakan/program sosial (social policy/program). Proyek yang dicetuskan pada 1969, yang mengangkat nama baik kota Jakarta dan pemerintah Indonesia saat itu, sampai saat ini, oleh dunia manajemen perkotaan, masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menangani masalah permukiman perkotaan. Keterbatasan dana, majemuknya masalah perkotaan, dan penduduk kota yang terus bertambah, merupakan tantangan yang dihadapi pada waktu itu, juga sampai saat ini. Proyek MHT tidak sekadar perbaikan fisik, melainkan seperti yang dikatakan oleh mantan Gubernur Ali Sadikin pada 1977, “Saya berpendapat bahwa kelompok penduduk yang terpaksa harus menempati perkampungan di sela-sela bagian kota yang terbangun rapi itu adalah justru warga kota yang lebih membutuhkan perhatian untuk menikmati hasil pembangunan”.

Dimulainya proyek MHT pada 1969 merupakan tonggak sejarah perubahan dalam tata-ruang maupun manajemen perkotaan. Seperti peristiwa di Eropa Barat setelah revolusi industri, yaitu berubahnya asas perencanaan birokrasi (bureaucracy planning) ke perencanaan advokasi (advocacy planning), proyek MHT merupakan suatu pengakuan atas keberadaan permukiman kampung sebagai bagian dari rajutan perkotaan (urban fabric). Permukiman informal yang terbentuk itu, dilengkapi dengan layanan perkotaan (urban services), seperti prasarana, sarana, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.

Pada 1980, proyek MHT meraih penghargaan dari Yayasan Aga Khan. Pada Pelita III, model pendekatan ini diangkat pemerintah pusat sebagai kebijakan nasional dalam menangani perumahan dan permukiman perkotaan. Pada Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki pada 1996, proyek ini masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menyelesaikan masalah permukiman di negara-negara berkembang. Juga dalam pembukaan Aliansi Kota (Cities Alliance) di Washington DC pada 1999, proyek ini pula yang masih disebut-sebut sebagai proyek yang dapat diandalkan. Sampai 2004, Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, menyatakannya sebagai Praktik Global Terbaik. Sesuai dengan pendapat Sach, untuk memperbaiki kekumuhan dan kemiskinan, layanan dasar perkotaan harus dibangun, terutama prasarana, sanitasi, dan air bersih. Dalam proyek MHT, komponen proyek dilengkapi dengan pembangunan fasilitas pendidikan (gedung sekolah dasar) dan fasilitas kesehatan (Puskesmas).

Pada tahun 2005, dikembangkan kembali persiapan KIP/PMHT dengan paradigma baru yang dikenal dengan nama “dedicated program”dan setahun kemudian di tahun 2006, telah diuji praktekkan pada 5 wilayah DKI Jakarta dengan skala lokasi terbatas dan jumlah dana yang besar. Kegiatan tersebut mendapat penilaian cukup berhasil dan memberikan tingkat perubahan yang signifikan, baik pada kondisi fisik lingkungan maupun perkembangan sosial masyarakat pada lokasi program. Tahun 2007, berdasarkan keberhasilan dedicated program 2006, maka dilanjutkan dengan perbaikan kampung terpadu. Lokasi sasaran adalah 5 wilayah yang sama dengan tahun 2006. Hasil pelaksanaan pada lokasi tersebut memperlihatkan keberagaman antara satu wilayah dengan wilayah lain. Hal keberagaman hasil ini, pada satu sisi dapat menunjukkan indikator input dan proses pelibatan masyarakat secara maksimal, namun pada sisi yang lain dapat juga dilihat sebagai adanya keniscayaan perbedaan dalam pemahaman, konsep, pendekatan, dan metode pelaksanaan di lapangan.

Pendekatan dalam program MHT perbaikan kampung terpadu

Dalam melaksanakan program MHT perbaikan kampung terpadu ini (sebagai contoh di kelurahan Kebon Baru tahun 2008)  pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan konsultan yang mendampinginya menitik beratkan pada pengembangan komunitas terpadu dengan sasaran pada aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan serta aspek fisik lingkungan yang terfokus pada penguatan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan secara mandiri sehingga bersih, sehat dan nyaman. Upaya pendampingan masyarakat dalam perbaikan kampung pada hakekatnya adalah merupakan upaya penguatan bagi kelembagaan warga di tingkat local.

Pendampingan masyarakat lebih dibutuhkan untuk membentuk kembali komunitas sebagai tempat bagi pengalaman manusia dan bertemunya kebutuhan manusia daripada sesuatu yang lebih luas, lebih tidak manusiawi dan struktur-struktur yang tak terjangkau. Pengalaman dan pergaulan manusia secara alamiah adalah kompleks, namun seringkali berbagai program pendampingan pengembangan masyarakat mencoba membentuk landasan komunitas yang lebih kokoh bertumpu pada aspek tunggal dari keberadaan manusia dan menolak aspek lainnya. suatu pendampingan pengembangan masyarakat yang berakar pada kerja sosial akan berkonsentrasi pada penyediaan layanan manusia bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan basis ekonomi komunitas yang bekerja atas asumsi bahwa dari pengembangan ekonomi akan memicu perkembangan hal yang lainnya, dengan demikian mereka mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Besar kemungkinan pengembangan masyarakat berdimensi tunggal seperti ini akan mengalami kegagalan.

Jim Ife dalam bukunya community Development : Creating Community, alternative vision, analysis and practices, mengidentifikasi pengembangan terdiri atas enam dimensi dan keenamnya merupakan dimensi yang penting secara kritis keenam dimensi itu tersebut tidak selalu tersekat-sekat dan berinteraksi satu dengan yang lain secara kompleks. Sering diperdebatkan bahwa satu dimensi lebih mendasar dari dimensi lainnya namun bagi kebutuhan pembentukan suatu model pengembangan komunitas dan dengan merenungkan peran pendamping masyarakat adalah sangat bermanfaat untuk secara mendasar menganggap keenam dimensi tersebut sebagai suatu hal penting, keenam dimensi itu adalah pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, pribadi/spiritual.

Dalam melaksanakan programnya, pemerintah juga mengembangkan konsep tribina menjadi tridaya. Tridaya bertujuan untuk melahirkan masyarakat yang mempunyai keberdayaan dalam dirinya untuk memperbaiki dan memelihara serta mengembangkan fisik permukiman dan lingkungannya, untuk melakukan kegiatan ekonomi guna pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta untuk meningkatkan keberdayaan dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan pendampingan melalui program pemberdayaan masyarakat dalam suatu rangkaian program terintegrasi yang jelas dan berkesinambungan. Inti dari tridaya adalah partisipasi masyarakat, yang diturunkan menjadi:

  1. Pemberdayaan sosial kemasyarakatan yang mungkin lebih tepat disebut sebagai suatu model proses prakondisi, yang mendorong mereka untuk dapat mengekspresikan diri dan aspirasinya dengan mengikatkan diri ke dalam suatu kelompok
  2. Pemberdayaan kegiatan ekonomi sebagai wahana rasional untuk mensejahterakan diri dan kelompok
  3. Pemberdayaan prasarana dan sarana lingkungan untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha ekonomi yang mendukung upaya mensejahterakan diri dan kelompok, maka kondisi prasarana dan saran lingkungan harus ditingkatkan.

Program MHT dan permasalahan yang menyertainya

Program MHT yang telah dinilai berhasil oleh badan-badan dunia dan oleh para ahli perkotaan ternyata pada kelanjutan program di tahun berikutnya mengalami berbagai macam masalah. Perkembangan model yang dilakukan dalam program MHT dilakukan karena disadari bahwa perkembangan kota Jakarta yang sedemikian cepat dibutuhkan suatu respons dan program yang tepat guna dan sasaran dalam rangka menanggapi perkembangan tersebut. Maka dari itu program MHT dikembangkan untuk menyesuaikan perubahan zaman. Program MHT berkembang menjadi MHT perbaikan kampung terpadu . konsep baru ini dikenal pada tahun 2007 yang sebelumnya sudah diawali pada tahun 2006 melalui MHT  “dedicated programe”. Namun pada pelaksanaannya terdapat berbagai macam perbedaan dalam pencapaian hasil. Oleh karenanya pada hasil laporan tentang perbaikan kampung tahun 2008 yang dikeluarkan oleh PT Wahana Prakarsa Utama sebagai konsultan  Dinas Perumahan Pemda Jakarta Pusat, menyimpulkan perlunya keseragaman tentang konsep pengembangan MHT tentang perbaikan kampung terpadu.

Permasalahan berikutnya adalah belum adanya pedoman baku tentang perbaikan kampung terpadu. Pentingnya pedoman baku adalah sebagai arahan terhadap pelaksanaan di tingkat lapangan. Lalu permasalahan berikutnya adalah belum terujinya perbaikan kampung terpadu pada saat ini sebagai solusi pemecahan bidang perumahan di DKI Jakarta. Kita semua menyadari bahwa permasalahan yang ada di Kota Jakarta sudah sedemikian kompleks, diantara masalah-masalah itu adalah masalah perumahan, sosial, banjir, sampah, sanitasi, air bersih, penghijauan, pengelolaan limbah rumah tangga dan transportasi. Program perbaikan kampung terpadu yang telah dilaksanakan pada 5 wilayah di DKI Jakarta selama 2 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2006 dan 2007 memang telah memberikan perubahan fisik lingkungan maupun sosial namun masih perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah program ini kontributif untuk menjadi alternative solusi bagi permasalahan penataan lingkungan pemukiman dan perumahan di DKI Jakarta.

Di lain pihak, warga DKI Jakarta menganggap bahwa program MHT yang dilakukan oleh pemerintah selama 5 tahun ini dianggap jalan di tempat. Hal ini di ungkapkan oleh warga kelurahan Manggarai Selatan. Warga menganggap bahwa program perbaikan kampung terpadu tidak sepenuhnya berhasil dan penanganan masalah perkampungan kumuh pun tidak sepenuhnya tuntas ditangani walaupun tetap mendapatkan Piala Adipura untuk tujuh kali. Menurut Rosmanah-salah seorang warga perkampungan di Jakarta, tak masalah mengejar prestasi kebersihan, tapi yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kemiskinan dan kekumuhan di kawasan padat penduduk. “Kekumuhan di satu lokasi tentunya membawa dampak yang banyak bagi lingkungan sekitar,” ujarnya. Rusdi, warga Tegal Parang, menilai penataan lingkungan kumuh tak berhasil. Buktinya, di wilayahnya masih ada tiga RW yang masuk kategori RW kumuh. Bapak dua anak ini, menilai kinerja serta program Walikota Jaksel menuntaskan kemiskinan serta kekumuhan selama lima tahun belakangan tak berhasil. “Terkesan pejabat di Pemkot Jaksel tak banyak turun ke lapangan untuk meninjau lokasi yang kumuh dan padat penduduk,” imbuhnya.[3]

Perubahan kebijakan: Dari perbaikan kampung ke pembangunan rumah susun

Pada tahun 1985, peremajaan perkotaan dilaksanakan di Kecamatan Tambora dan kemudian di Karang Anyar, setelah yang terakhir ini tertimpa musibah kebakaran. Tujuan pembangunan rumah susun adalah pengentasan kemiskinan dan kekumuhan. Apa yang terjadi kemudian, dalam waktu singkat, adalah munculnya pergeseran kelompok sasaran. Lebih daripada 90% penghuni rumah susun ternyata adalah golongan menengah, dan ini berarti pemerintah memberikan subsidi terus-menerus terhadap kelompok yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas mendapatkannya. Rumah susun kemudian menjadi monumen kekumuhan bertingkat, yang berarti tidak berkelanjutan dan memerlukan subsidi terus-menerus.

Dalam pelatihan-pelatihan manajemen perkotaan internasional, di manapun, selalu disarankan untuk tidak mengambil Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Israel, sebagai acuan dalam kebijakan perumahan dan permukiman, karena negara-negara itu memiliki pendapatan domestik bruto yang tinggi, selain ada keterbatasan lahan. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka berbeda dengan Indonesia.

Sejak 2000, tidak ada proyek MHT. Sebaliknya, pembangunan rumah susun terus digalakkan. Pada sektor swasta, pembangunan perumahan mewah bermunculan di segenap penjuru kota, menawarkan permukiman bernuansa modern, seakan-akan di dalam kota Jakarta tidak terdapat masalah permukiman. Terjadi kesenjangan yang mencolok, di mana di satu pihak permukiman formal dimanjakan, sedang permukiman informal diterlantarkan. “Sementara karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri”

 

MHT dan Harapannya di masa yang akan datang

Program yang digulirkan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penataan terhadap lingkungan kumuh memang telah mendapatkan berbagai macam pengakuan akan keberhasilannya dari dalam maupun luar negeri, namun begitu keberhasilan program MHT di masa yang lalu mendapat tantangan di masa kini dengan adanya perubahan zaman dan suasana kota Jakarta yang semakin berkembang. Jika pada awal program MHT digulirkan hingga hari ini, penekanan dari program ini lebih menitik beratkan pada pembangunan fisik dan infrastruktur, maka program-program MHT selanjutnya juga harus mulai merambah kepada pembangunan masyarakat (community Development) secara seimbang dan berkelanjutan.

Program MHT diharapkan tidak hanya mampu membangun sarana-sarana fisik dari sebuah lingkungan namun juga program ini diharapkan mampu membangun masyarakat, baik secara individual maupun komunal yang tinggal dalam lingkungan tersebut. Perlu disadari bahwa sebuah pemukiman walaupun secara empirik adalah lingkungan fisik namun sebenarnya pemukiman itu adalah sebuah lingkungan budaya yang penciptaan dan penataannya dilakukan dengan berpedoman kepada suatu kebudayaan, digunakan untuk tinggal dan hidup bersama bagi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melangsungkan kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan primer (yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organism tubuh manusia), sekunder (yang terwujud sebagai akibat dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer yang tidak dapat terpenuhi secara individual tetapi harus dalam kehidupan sosialnya), dan kebutuhan tersier (yang lahir dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder, yang menuntut terwujudnya keteraturan dan ketertiban moral dan sosial, keindahan, dan estetika pada umumnya, dan kebutuhan-kebutuhan tersier inilah yang mengintegrasikan tindakan-tindakan manusia dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya). Selain itu pemukiman juga harus disadari sebagai suatu lingkungan politik dan ekonomi. Oleh karenanya pembangunan pemukiman harus selalu dilihat dari sudut manusia, fisik, sosial, budaya, politik  dan ekonomi, diharapkan dengan cara pandang yang holistic seperti itu suatu pemukiman yang aman, nyaman dan tenteram dapat terwujud

Referensi

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pemgembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga FEUI

Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty

Ife, Jim. 1995. Rethinking Sosial Work: Towards Critical Practise. South Melbourne: Longman

Ife, Jim. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramadhan. 1992. Bang Ali Demi Jakarta (1966-1977). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


[1] Laporan  Musrembang Kanpekko DKI Jakarta, 2009

[2] RPJMD Provinsi DKI Jakarta, 2007

[3] www.beritabatavia.com. Di akses 15 Juli 2010

Tinggalkan komentar