“Surat Tak Berjudul”

Singkat. Perjumpaan denganmu sungguh terasa amat singkat. Lebih-lebih jika rasa itu harus di deretkan dengan sebuah tulisan. Bahkan kalaulah memang tertulis, apakah mampu menerangkan kelu atas kepergianmu? masih terbayang jelas senyummu menyapa dikala sore itu. Masih jelas tergambar suasana diskusi kelas yang belakangan mulai terasa asyik menyelami rimba pengetahuan bersamamu. Namun kini dirimu telah pergi. Meninggalkan sejuta kenang tentangmu yang tak pernah lekang oleh waktu. Tentang pengabdian dan ketulusanmu sebagai guru

Tak pernah terbayang akan secepat ini perjumpaanku denganmu. Engkau yang selalu tersenyum pada dunia meski dirimu tahu betul tidak selamanya kehidupan ini harus engkau senyumi. Engkau yang tidak pernah mau dikalahkan oleh usia senjamu. Engkau yang selalu tulus berbagi kasih lewat kesederhaan. Dan bagiku engkaulah yang telah mengajarkan kata ”kesejahteraan” sebagaimana kata itu harus diucapkan, dipahami, dan ditegakkan bagi Indonesia yang telah terlajur engkau cintai.

Mungkin zaman telah memberimu jarak  pada realitas kekinian namun zaman tidak pernah mampu memutuskanmu pada asa dan cita. Atau mungkin justru sebaliknya, zaman-lah yang telah lelah mengejar keihklasan dan pengabdianmu. Zaman mungkin pula telah me-renta-kan tubuhmu tapi tidak semangatmu, zaman pula yang telah menjauhkanmu dari rentang paradigma hingga murid-muridmu terkadang sukar menjangkau cakrawala pengetahuanmu, namun tidak dengan bahasa cintamu. Sayangnya, aku baru pahami segalanya kini, terlambat.

Sungguh ku tak menyalahkan takdir jikalau memang itu adalah yang terbaik atasmu. Hanya saja penyesalan memang tidak pernah datang di awal  sementara “Ada” menjadi teramat bermakna tatkala ada itu telah tiada. Tak berarti pula sebuah penyesalan karena itu tak akan pernah membawanya kembali, melewati sang takdir. Hanya kenangan atasmu menjadi menawar rindu. Membaca ajaranmu menggugu ilmu. Mencitaimu lewat karya-karyamu.

Aku mungkin tidak seberuntung mereka yang mengenalmu lebih lama dan lebih dekat. Namun dedikasi dan cintamu  tiada pernah mampu ku hapus dari ingatan. Selamat jalan  bunda…..

 

Depok, 16 April 2012 pukul 02.50

 

KEMAJUAN DAN KETERBELAKANGAN (DEVELOPMENT AND UNDERDEVELOPMENT)

Perbedaan tentang hakekat kemajuan (development), penjelasan tentang ketidak berhasilan dalam usaha-usaha untuk mencapainya, dan tampaknya alternatif strategi-strategi yang berhasil telah menguras energi dan menghasilkan beberapa pemikiran. Namun tampaknya pertanyaan mendasar, bagaimana analisis tentang kemajuan. Isu-isu tentang kebijakan sosial mengarah pada kerangka pemikiran/teori yang dipakai.

Teori keterbelakangan mengarahkan pada pendekatan yang menyatu (a unity approach) yang menolak (denies) kenyataan-kenyataan perbedaan yang penting. Dalam studi, perbedaan-perbedaan ini ditangani dengan konsisten atas isu-isu (consistent of issue) dan kemungkinan-kemungkinan menangani dengan kebijakan-kebijakan sosial sebagai suatu yang dinamis dalam perubahan (change) pada negara-negara dunia ketiga.

Dalam perkembangannya dunia ketiga telah bergerak (has emerged) sebagai satu kekuatan yang nyata. Sampai abad ke 20, menjadi subjek dari sistem kapitalis yang didominasi oleh negara-negara barat yang berbasis industri (western industrial nation) atau dilihat tidak relevan.

Dalam jumlah penduduk, dunia ketiga memiliki jumlah terbesar penduduk dunia dan berkembang sangat pesat. Dalam istilah ekonomi (economic terms) memp bagian terbesar dari kekuatan buruh (greatest share of labour power), dan dalam jangka panjang akan merupakan peluang pasar yang sangat besar.

Secara politis, meskipun belum menunjukkan kekuatannya di PBB, namun merupakan kekuatan yang nyata, khususnya berdampak dalam menjembatani keseimbangan (the balance) antara dunia pertama dan kedua. Secara keseluruhan dunia ketiga sebagai kelompok masyarakat (mass of societies) yang berbeda keterbelakangannya. Sejak pertengahan abad ke 20 meskipun tidak dikehendaki oleh analist negara-negara barat untuk mengadakan pendekatan bagian lainnya sebagai kelompok bangsa yang kompleks dan berubah yang berhasil memperoleh kemerdekaan politiknya. Selanjutnya sebagai bangsa yang baru, dilihat memerlukan bimbingan (guidance) dan bantuan untuk mencapai “modernisasi.”

Dalam proses ini banyak asumsi yang dibuat, paling banyak dan mendasar, kepentingan umum antara developed dan underdeveloped. Asumsi-asumsi tersebut kemungkinan sangat naïf. Hubungan antara sebelum dan sesudah kemerdekaan (political independence) dan dinamika underdevelopment, mungkin tidak terlalu naïf seperti bukan nilai setempat (disingenious).

Kepentingan umum, misalnya antara petani dengan peladang kepentingannya sama: hasil pertanian bagus. Dalam pandangan modern sesuatu yang dominan untuk jangka waktu tertentu, bagaimanapun dilihat mencakup (embodied) asumsi banyak kekuatan yang akan berbalikarah (in turn) pada pengaruh langsung + tidak langsung pada strategi-strategi untuk pemb + kebijakan khusus antara (within) strategi-strategi tersebut.

Dalam perkembangannya tahap-tahap yang terjadi ditandai oleh : pusat kegiatan dan sumberdaya tentang informasi pemikiran (informed thinking) yang berubah dari barat kepada dunia ketiga. Bantuan (aid and assistance) dari barat sebelumnya diberikan secara ringkas (epitomising) kepentingan umum (common interest), dan yang terburuk, maksud yang baik tapi mungkin tidak efisien.

Sekarang ikatan ini dilihat sebagai bagian dari proses keberhasilan dimana negara-negara barat telah membentuk kembali (re established) dan mempertahankannya. Dalam istilah ekonomi disebut hegemoni yang hilang dalam istilah politik (political terms), melalui dekolonisasi.

Baik para ahli maupun pemimpin politik (political leaders) di dunia ketiga mengkritik tulisan barat yang berpendapat meneruskan eksploitasi dengan menempatkan penyebab dari keterbelakangan pada dunia ketiga. Istilah “blaming the victim” merupakan fenomena yang dipergunakan oleh mereka yang mempelajari  kemiskinan dan kesenjangan (inequality) antara masyarakat barat.

Penjelasan dari negara-negara dunia ketiga

 

 

 

Dari negara-negara yang mempunyai pengalaman keterbelakangan berpendapat (judged) teori serta penjelasan sebelumnya bertentangan dengan pendapat mereka tentang dunia. Pengalaman Amerika Latin+ Afrika, kemarahan mereka yang tertindas + pemerasan (oppression) dan eksploitasi, juga dikembangkan teori yang berpengaruh sebagai senjata “The Psychology of Oppression,” dimana korban kolonialisasi tidak hanya menyalahkan kekurangannya, tapi secara efektif mengajarkan untuk menerima dan mendalami (internalise) pandagan tidak kompeten dan rendah diri dari mereka sendiri (to accept and interalise this view of his own incompetence and inferiority). Teori ketergantungan (theories dependency) digambarkan sebagai hakekat hubungan struktural (structural relationships) dan diusulkan ketidakadilan antara yang kaya dan yang miskin, daerah perkotaan dan pedesaan, baik dengan/tidak dengan kekuatan (those with power and those without), diantara negara-negara dunia ketiga telah menimbulkan dan dipertahankan oleh proses kemajuannya (their development) dalam subordinasi terhadap kekuatan ekonomi metropolitan.

 

Teori-teori tentang kemajuan dan keterbelakangan menimbulkan perbedaan yang mendasar antara keterbelakangan sebagai suatu negara (between underdevelopment as a state), sebagaimana dalam teori-teori modernisasi, dan sebagai suatu proses.

Memahami sebagai suatu proses, keterbelakangan menjadi suatu kekuatan senjata teoritis (a power theoretical weapon), memperbolehkan kita untuk melihat keterbelakangan bukan suatu posisi dari mana masyarakat dapat bergerak ke depan tapi hasilnya (the outcome) proses yang berkelanjutan dengan mana baik hubungan keluar mereka (their external relationship) dan formasi sosial ekonomi di dalam (internal social and economic formations) diputarbalikkan (perveted) untuk meyakinkan secara progresif integrasi lebih mendalam sebagai bagian-bagian yang dieksploitasi dari ekonomi internasional.

Sebagian masyarakat-masyarakat yang terbelakang telah mencoba untuk membuka kaitan keterbelakangan dan mempergunakan strategi untuk pembagunan yang sejati (genuine development) negara-negara sosialis yang termasuk negara-negara terbelakang /dunia ketiga, seperti Cuba, China, dan Vietnam telah menerapkan sebagai inspirasi mereka, namun karena perbedaan-perbedaan pengalaman historis, organisasi politik dan tingkat ideologis pembangunan, tidak dapat dibentuk suatu model. Negara-negara dunia ketiga yang non sosialis telah mempengaruhi secara mendalam pada kehidupan bersama (influence on their contemporaries), namun kedua negara, Tanzania + Mozambique telah menunjukkan masalah-masalah yang menimbulkan dendam yang berat (despite massive problems) dan hanya bagian kecil tujuan yang dapat dicapai.

Hakekat Pembagunan (Development)

Development merupakan konsep yang kompleks dan sangat mendasar untuk diskusi tentang strategi dan kebijakan. Istilah development pada umumya dipakai oleh negara-negara miskin, bukan negara kaya. Selanjutnya kalau istilah tersebut diterapkan oleh semua negara yang kaya, cenderung pada sebag dari perhatian untuk “backwar” atau “depressedareas dari negara-negara tersebut, atau dalam kaitannya dengan kelompok sosial tertentu (particular social groups). Dari dua contoh tersebut, dimaksudkan bahwa suatu wilayah atau kelompok orang yang perlu dibangun (need to develop), atau dibangun karena mereka dibedakan dari semua kegiatan yang sangat peting dari semua anggota masyarakat (society) yang lain. Terdapat usaha untuk memberi arti yang benar tentang development, tapi hanya suatu asumsi tentang kenyataan (rightness) model kehidupan yang dominan (dominant life styles) dan bentuk-bentuk socio economic (socio economic forms), dan kenyataan (the self evidence) yang perlu untuk dikejar.

Swedia yang termasuk menerapkan negara kesejahteraan sejak lama, dalam perdebatan untuk perubahan yang akan datang (future change), mengemukakan fokus tentang konsep development, dengan perhatian pada hakekat dasar tentang masyarakat (society) dan menyadari bahwa asumsi yl untuk meneruskan pertumbuhan ekonomi tidak berlaku lagi.

Dalam membicarakan konsep development tidak bisa terlepas dari value judgements. Development tidak bisa dilepaskan di suatu konsep yang normatif (development is inevitably a normative concept), tampaknya hampir sinonim dengan perbaikan (improvement). Dilihat dari sisi pemerintah, dilihat dari beberapa penjelasan yang terkait dengan improvements, menggambarkan berbagai proses yang hasilnya berupa keputusan kebijakan  (official policy).

Pendekatan lain yang biasa diterapkan, dengan melihat apa yang telah diterapkan oleh negara lain, mengikuti pola ekonomi negara tersebut dan perubahan sosial yang berdampak kenyataan negara tersebut sebagai tujuan. Hal ini sering terjadi, khususnya pada negara-negara yang pada masa-masa tertentu dibawah kekuasaan langsung oleh negara-negara penjajah, bersama-sama melanjutkan transfer budaya, sosial, politik dan ekonomi yang direcanakan secara eksplisit dan implisit untuk mendirikan dan mempertahankan hegemoni dari sistem-sistem yang khusus dari nilai dan formasi ekonomi (to establish and maintain the hegemony of particular system of values and economic formations), (Long 1977, Hoogvelt 1978).

Secara persuasif telah diperdebatkan kebutuhan mendasar lain dalam masyarakat (human society) adalah pekerjaan (employment), (Seers, 1972). Dalam perdebatan diantara para penulis barat tentang employment sering diartikan income producing employment, baik wage- employment maupun self-employment dalam produksi untuk pasar. Hal ini diasumsikan perlunya cash relationship yang merupakan pemikiran mendasar bagi orang barat untuk pengertian development. Jadi sangat penting kedudukan orang dalam masyarakat diukur dari hubungannya dengan pasar, dengan dampak berbagai konsekwensinya.

Tidak berkeinginan untuk tergantung pada orang lain merupakan rasa harga diri. Employment diartikan, termasuk belajar, bekerja di lapangan untuk konsumsi dan bukan pasar, peduli terhadap mereka yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, dan berbagai peran lain sesuai dengan tujuan masyarakay (society). Pendekatan ini berbeda dengan occupation with paid employment.

Perbedaan tentang equality tidak terlepas dari posisi moral dan persepsi fundamental terhadap hakekat human society (Blowers & Thompson, 1976). Dalam konteks ini lebih diperhatikan equality of condition yang berbeda dengan pengertian yang sering dianut, equality of opportunity. Equality tidak diartikan sebagai kemampuan (talent or ability) yang didistribusikan secara sama, tapi pengakuan bahwa setiap orang sama nilainya (equal worth).

Diyakini banyak pendapat yang tidak setuju equality dipandang sebagai tujuan sebagaimana dikehendaki (in its own right) sebagai elemen ketiga dalam pembangunan (the third element in development) yaitu kemiskinan, unemployment, dan inequality. Karenanya development never will be defined to universal satisfaction.

Banyak penulis berpendapat, asumsi teori-teori modernisasi dapat dikatakan tidak adil (false) dan model-modelnya dibangun berbasi pada teori yang tidak relevan untuk negara-negara dunia ketiga (Long, 1977; Hoogvelt, 1978; Taylor, 1979) dua hal penting yang perlu dibuat tentang teori-teori tersebut:

  1. Teori-teori struktural-fungtionalist dari modernisasi dalam kenyataan sangat berguna untuk mendukung ideologi yang menutupi hakekat imperialis dari kapitalisme barat (Hoogvelt, 1978: 62).
  2. Selai penolakan-penolakan yang berkesinambungan dari teori-teori tersebut baik pada landasan teori maupun penerapannya, namun tetap mempunyai peran dalam pengembangan kebijakan sosial, setidak-tidaknya  melalui organisasi internasional.

Kedua pemahaman tersebut menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi saja bukan pembangunan/development dan modernisasi/westernisasi adalah senjata imperialism ekonomi.

Keterbelakangan dan Ketergantungan (Underdevelopment and Dependency)

Terdapat berbagai versi tentang teori-teori underdevelopment (Foster-Carter, 1974) terdapat berbagai tema penting yang membedakannya dengan teori modernisasi. Perspektif neo-marxist tidak mengasumsikan:

  1. Baik developed maupun underdeveloped societies berdiri sendiri sebagai sistem sosial (self sufficience social systems) tapi lebih menitikberatkan pada saling terkait dari ekonomi global (places emphasis on the interconnections of a global economic) dan sistem sosial.
  2. Dengan memperhatikan sejarah penyebab perubahan sosial di underdeveloped countries, menunjukkan bahwa penyebaran (diffusion)  sistem barat menghasilkan pembagunan yang sebaliknya (reverse development). Bukan kemerdekaan yang lebih luas (greater independence). Hakekat perubahan adalah seperti mengarah pada ketergantungan yang lebih luas dan eksploitasi yang lebih jauh terhadap hubungan (relationships) antara underdeveloped countries dan antara negara-negara tersebut. Lebih besarnya kekuasaan kerjasama (more powerful partners is development). Bagian besar negara-negara miskin atau yang biasa disebut third world, tetap berada di pinggiran (peripheries) sistem kapitalis dunia dan secara berkesinambungan underdeveloped sebagai dampak dari relasinya dengan bangsa-bangsa yang lebih dominan (the more dominant nations).

Struktur kapitalis dipaksa pada formasi-formasi ekonomi + sosial yang telah ada (capitalist structures are imposed on already economic and social formations) struktur yang dipaksakan bukan yang indigenous, diperluas dengan dengan perbedaan-perbedaan antara the domestic and export-oriented economies. Hakekat hubungan ekonomi antara metropolitan countries da underdevelop countries seperti itu berarti surplus dikirim ke negara yang kuat sementara yang tertinggal relatif makin miskin dan makin tergantung (relatively impoverished and chronically dependent).

Konsep development sangat mendasar pada setiap diskusi tentang kebijakan sosial di negara-negara dunia ketiga. Meskipun sering dipergunakan, namun definisinya sering kabur. Konsep-konsep tersebut telah ditantang dan pendekatan-pendekatan modernisasi yang meluas menitik beratkan pada pertumbuhan ekonomi. Diatas semua pandangan tersebut, ditekankan kalau underdevelopment sangat kuat (powerful) dan melanjutkan suatu proses yang menghasilkan beberapa formasi khusus tentang ekonomi dan sosial (continuing set of processes producing particular kinds of economic and social formations) keduanya dalam negara-negara yang sedang berkembang dan antara negara-negara tersebut (both within developing countries and between those countries) dan dengan bangsa-bangsa yang lebih kuat dalam ekonomi internasional (the more powerfull nations in the international economy). Meskipun bentuknya bervariasi dan khusus (specific forms vary), secara umum pemutarbalikan istilah-istilah dari dunia ketiga (in general terms the perversion of third world) political economies may be seen as directing change in the interest of external forces.

 

*Tulisan ini adalah bahan materi perkuliahan Ibu Suwantji Sisworahardjo, SH, MDS  dalam mata kuliah Perencanaan Sosial studi Pasca Sarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia


PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PEMBANGUNAN SOSIAL

Berkembangnya konsep pembangunan sosial karena kekecewaan akibat kegagalan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi, yang ukuran utamanya: Peningkatan pendapatan masyarakat dan pendapatan perkapita. Negara-negara yang berhasil dalam pembangunan, ternyata memberikan perhatian yang cukup terhadap pembangunan di bidang sosial. Misalnya perhatian kepada manusia dan lembaga-lembaga sosial yang harus menjalankan pembangunan itu. Investasi di bidang sumber daya manusia, menjadi tema pokok pembangunan sosial sama pentingnya dengan investasi untuk prasarana ekonomi.

Pembangunan sumber daya manusia menunjukkan pertumbuhan tidak hanya dihasilkan penambahan stok modal dan jumlah tenaga kerja, tapi juga yang kemudian disebut total factor productivity, akibat perubahan tehnologi dan peningkatan kualitas SDM. Atas dasar itu berkembang konsep human capital. Investasi dalam modal manusia, seperti pendidikan, pelatihan dan kesehatan merupakan sumber pertumbuhan yang tidak kalah pentingnya dibanding investasi pada modal fisik. Selain itu tujuan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial sama yaitu menciptakan kesejahteraan bagi manusia namun sudut pandangnya berbeda.

Kesejahteraan masyarakat terdiri dari berbagai faktor baik yang berupa kebutuhan lahiria maupun batinia dari sudut pandang ekonomi, kebutuhan hidup harus dipenuhi secara alamiah oleh manusia itu sendiri sebagai pelaku ekonomi. Dalam pengertian ini dikenal bekerjanya mekanisme pasar, atau adanya invisible hand yang mengatur sendiri keseimbangan antara kebutuhan dan pemenuhan kebutuhan. Kesejahteraan digambarkan sebagai pemenuhan kebutuhan (konsumsi), dengan pendapatan yang dihasilkan dari produksi.

Kesejahteraan masyarakat dihasilkan sendiri oleh masyarakat dan hasilnya dinikmati sendiri oleh masyarakat. Ilmu ekononomi memusatkan pada pembahasan 3 teori dasar : konsumsi (pengeluaran), produksi (pendapatan), distribusi (pasar). Sifat multidimensi dan bekerjanya mekanisme pasar memberi implikasi bahwa kesejahteraan masyarakat secara merata dapat dicapai dengan dipenuhinya 3 asumsi dassar :

  1. Setiap anggota masyarakat sebagai pelaku ekonomi berperan dalam kegiatan ekonomi (pembangunan);
  2. Setiap pelaku ekonomi mempunyai kemampuan (produktivitas);
  3. Setiap anggota masyarakat bertindak adil dan rasional

 

Dalam kenyataan asumsi dasar tidak mudah terwujud karena kemampuan masyarakat dalam pemilihan faktor produksi tidak sama dan menimbulkan kesenjangan. Kelangkaan faktor produksi dibandingkan dengan kebutuhan . Kelangkaan tersebut adalah sumberdaya alam, sumbedaya manusia (kemampuan( dan kelangkaan waktu. Dalam keadaan ini ekonomi pembangunan berupaya untuk mewujudkan pelaksanaan ekonomi secara nyata dan bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata.

Dalam ekonomi pembangunan terkandung pemahaman yang tidak hanya menekankan pada hasil akhir yang dicapai (efisiensi, produktivitas, stabilitas, dan pertumbuhan yang tinggi) tapi juga pada upaya upaya untuk mencapai tujuan tersebbut. Paham pembangunan ekonomi yang dianut sekarang sebenarnya sudah lebih luas dari hanya menitikberatkan pada pertumbuhan tapi juga telah mencakup aspek-aspek pemerataan.

Disini terletak bidang singgungnya dengan pembangunan sosial, penigkatan lapangan kerja produktif, pendapatan yang merata, penghapusan kemiskinan dan kesenjangan adalah tujuan pembangunan ekonomi yang juga tujuan pembangunan sosial.  Misalnya pembangunan bidang pendidikan. Dalam pembangunan ekonomi sama dengan meningkatkan produktivitas. Dalam pembangunan sosial sama dengan  menghasilkan manusia yang lebih cerdas, lebih mampu mewujudkan dirinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Nancy Birdsall (1993) secara tegas menyatakan “ Social development is Economic Development”. Investasi di bidang sosial tidak sia-sia dari segi ekonomi. Pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial adalah dua muka dari satu mata uang yaitu pembangunan nasional. Tujuan pembangunan sosial dan pembangunan ekonomi sama tapi pendekatannya yang berbeda dan ukuran-ukurannya juga berbeda semuanya diprlukan untuk memperoleh gambaran yang utuh tentang pembangunan nasional.

Berbagai Aspek Pembangunan Sosial

Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia. Kesejahteraan ingin dicapai dan membangun harkat dan sesuai martabbat kemanusiaan dengan berlandaskan pada kemampuan dan mengembangkan potensi yang dimiliki secara optimal. Manusia yang bermartabat tidak akan puas dengan kehidupan pada belas kasihan orang lain, tidak ingin tergantung pada orang lain.

Paradigma yang tidak pernah berubah adalah kebutuhan akan lapangan pekerjaan.

Tantangan utama pembanguan yang merupakan masalah ekonomi dan sosial.

  1. Pengangguran
  2. Kemiskinan
    1. Kemiskinan absolut : Taraf kehidupan miskin di bawah suatu garis pendapatan tertentu yang menjadi batas minimum untuk manusia dapat hidup scara layak
    2. Kemiskinan relatif : Perbandingan tingkat pendapatan antara berbagai golongan pendapatan yang sangat jauh
    3. Ketimpangan, yang diatasi dengan upaya pembangunan . Terdapat beberapa bentuk ketimpangan :
      1. Ketimpangan antar golongan pendapatan
      2. Ketimpangan antar daerah /antar kelompok etnis/agama
      3. Ketimpangan antar sektor : sektor pertanian dan industri, sektor perkotaan dan pedesaan
      4. Ketimpangan Gender , Antara laki-laki dan perempuan
      5. Ketimpangan dalam kesempatan
      6. Ketimpangan antar masyarakat dunia maju dan berkembang yang menimbulkan gejala yang disebut keterbelakangan dan melahirkan ketergantungan )dependency)

Tiga masalah utama yang ingin dipecahkan dengan pembangunan yaitu :Lapangan kerja, kemiskinan dan ketimpangan.

Namun nampaknya banyak tantangan yang dihadapi :

  1. Tatanan sosial dan budaya yang sangat kuat ikatan-ikatan tradisional dan primordialnya
  2. Berkait dengan hal tersebut, lemahnya solidaritas antara kelompok-kelompok dalam masyarakat
  3. Keterbatasan sumberdaya di negara berkembang baik dana maupun manusia
  4. Penempatan prioritas yang rendah pada proyek-proyek sosial dibandu\ingkan dengan proyek-proyek ekonomi dan proyek-proyek prestise seperti monumen-monumen raksasa , stadiun modern
  5. Lembaga-lembaga dan pranata-pranata yang dibutuhkan untuk pembangunan belum berkembang, justru menjadi penghalang baik lembaga ekonomi sosial, politik, hukum
  6. Sikap pemerintah dan birokrasi yang acuh tak acuh dan tidak terpanggil untuk berpihak dan memberi perhatian kepada masalah sosial terutama yang menyangkut rakyat kecil.

Ruang Lingkup

Ruang lingkup kebijakan sosial dan pembangunan sosial berkembang dan meliputi tahap-tahap :

  • Hanya berkenaan dengan persoalan santunan sosial, untuk masyarakat yang kurang beruntung berkembang menjadi  pelayanan sosial yang lebih luas seperti pendidikan dan kesehatan lebih luas lagi mencakup upaya untuk mengatasi masalah sosial yang mendasar seperti kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan, dan prinsipnya distributif dengan fokus pada tindakan nyata.
  • Dalam pelaksanaannya pembangunan sosial dijalankan berdasar sistem yang berlaku dalam administrasi pembangunan di suatu negara.

 

Ada yang mengelompokkan dalam ruang lingkup masalah sosial, selain pendidikan, kesehatan, perumahan, kependudukan, juga pembangunan perkotaan dan pedesaan (Hardiman dan Midgley, 1982). Di Indonesia pembidangan pembangunan ditetapkan dalam GBHN. Selama Pembangunan Jangka Panjang I ada 4 bidang pembangunan yaitu bidang ekonomi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, sosial budaya, PDL dan Hankam.

Di luar sektor agama, dalam bidang sosial budaya mencakup sektor : pendidikan, kebudayaan, ilmu pegetahuan, teknologi dan penel kesehatan, keluarga berencana, kependudukan, perumahan, kesejahteraan sosial, generasi muda, peranan wanita dalam pembangunan dan pembinaan bangsa.

 

Dalam Pembangunan Jangka Panjang II mulai Repelita VI, sesuai perkembangan dan antisipasi tantangan-tantangan pembangunan di masa depan, tetapi dikenal 4 aspek kehidupan bangsa yaitu : politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam. Namun pembidangan pembangunan telah diperluas menjadi 7 bidanga yaitu : ekonomi, kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME, ilmu pengetahuan dan teknologi, hukum, politik, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media masa, serta pertahanan keamanan.

 

PENDEKATAN-PENDEKATAN

 

Pendekatan yang paling awal berkait erat dengan paradigma pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi. Menurut pandangan ini pertumbuhan yang tinggi akan menghasilkan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Karena itu tidak terdorong keperluan untuk memberikan perhatian pada masalah sosial yang dianggap akan terselesaikan dengan sendirinya dengan meningkatnya pendapatan karena pertumbuhan ekonomi yang akan meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan.

Selain itu ada anggapan bahwa pengeluaran untuk bidang sosial tidak produktif dan tidak menyebabkan tidak efesiensinya penggunaan sumberdaya nasional. Pandangan neo klasik dalam ekonomi  politik menghendaki kebtuhan sosial dipenuhi oleh upaya individual melalui ekonomi pasar. Pendekatan ini :

 

  1. Disebut residual . Kegagalan pembangunan yang tercermin dengan meluasnya kemiskinan dan melebarnya ketimpangan, menuntur adanya pendekatan baru

Perhatian mulai diberikan kepada pelayanan sosial, yang tidak mungkin dapat tersedia hanya dengan inisiatif individual dan mengandalkan hukum pasar . Pemerintah mulai merencanakan pembangunan di bidang sosial dan secara bertahap menyediakan dana pembangunan untuk membangun sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, instalasi air bersih dsb. Pendekatan ini disebut incremental. Kemajuan dapat dicapai secara bertahap , mungkin kemajuan kecil dan tidak merata antara satu sektor dengan sektor lainnya dapat berbeda percepatannya . Demikian juga antara satu wilayah lainatau suatu kondisi dengan kondisi lain.

Pendekatan ini lebih maju dari sebelumnya dan banyak digunakan dalam perencanaan pembangunan di negara berkembang. Pendekatan ini menurut Hardiman dan Midgley (1982) selain ada keuntungan juga ada kelemahannya :

a)      Banyak negara berkembang mengikuti pola yang terjadi di negara maju, hasilnya banyak yang gagal

b)      Pendekatan ini lebih merupakan reaki terhadap permintaan dan bukan kebutuhan, mengingat kebutuhan terbesar berasal dari lapisan masyarakat yang biasanya tidak turut serta dalam proses pembangunan dan kurang berpengaruhb dalam pengambilan keputusan

c)      Sifat inkremental tidak redistributif karenanya tidak akan dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial yang mendasar dan berjangka jauh ke depan

d)     Pendekatan lain appropriative didasarkan atas pemenuhan kebutuhan bersifat redistributif dan partisipatif

e)      Dalam kaitan dengan itu dikemukakan sebuah pendekatan yang dikenal dengan pendekatan …sional komprehensif. Dalam pengertian ini diperlukan perencanaan berjangka serta pengerahan sumberdaya yang merupakan pengembangan potensi yang ada secara nasional yang mencakup seluruh masyarakat. Perlu dilibatkan semua lapisan masyarakat baik pemerintah maupun dunia usaha, lembaga sosial dan kemasyarakatan serta tokoh-tokoh individu yang mempunyai kemampuan untuk membantu. Program harus bersifat nasional . Dengan curahan sumberdaya yang cukup besar untuk menghasilkan dampak yang berarti.

f)       Pendekatan sektoral dan pendekatan terpadu atau unfied approach antara lain disarankan oleh Myrdal yang tidak ingin memisahkan pembangunan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial (Hardiman dan Midgley 1982).

Juga dapat dilakukan pembedaan pendekatan sektoral dan regional demikian juga pendekatan makro dan mikro, fungsional atau struktural.

 

Parisipasi dan Pemberdayaan

Pembangunan yang gagal di masa lalu, selain karena pendekatannya terbukti keliru yaitu terpusat pada pembangunan ekonomi dan penekanan pertumbuhan juga karena pembangunan hanya diikuti lapisan yang terbatas yaitu kelompok elit dan sebagian besar merupakan upaya birokrasi. Rakyat tidak diikutsertakan kecuali untuk mengerjakan apa yang harus dikerjakan untuk suatu proyek pembangunan. Seringkali rakyat melakukannya dengan tidak mengetahui persis mengapa mereka harus melakukan dan apa manfaat yang akan diperoleh.

Upaya demikian seringkali salah sasaran karena mengandalkan pengetahuan para perencana / kaum birokrat yang terbaik bagi rakyat tapi rakyat tidak didengar apa yang dirasakan terbaik bagi dirinya. Akibatnya sering terjadi kegagalan yang mengakibatkan benturan antara program dan rakyat yang berakibat program tidak berjalan dengan baik.

Selain itu karena rakyat yang terbelakang tidak bersuara / tidak didengar maka kelompok yang lebih maju yang bersuara dan didengar sehingga kegiatan pembangunan lebih mengarah kepada pemenuhan permintaan mereka karena itu dalam konsep pembangunan sekarang partisipasi menjadi paradigma yang sangat penting.

Partisipasi harus dimulai sejak awal, mulai dari tahap penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Tingkat partisipasi sejajar dengan tingkat kegiatan pembangunan. Misalnya pembangunan nasional, provinsi, kabupaten dan desa

Partisipasi rakyat pada lapisan bawah yang paling efektif diselenggarakan dalam lingkup kelompok masyarakat. Dalam rangka ini dikembangkan konsep pembangunan masyarakat (community development) yang berakar pada partisipasi rakyat. Dengan partisipasi masyarakat maka program/kegiatan lebih berhasil karena :

  1. Diperoleh informasi yang lebih akurat tentang sumberdaya, kelembagaan masyarakat dan masalaha-masalah yang dihadapi
  2. Pelaksanaan pembangunan akan lebih kukuh karena didukung oleh masyarakat
  3. Hak yang paling mendasar dalam demokrasi yaitu turut menentukan apa yang terbaik bagi dirinya
  4. Dapat diperoleh penghematan dalam sumberdaya karena kegiatan yang lebih terarah serta adanya sinergi antara masukan masyarakat dan pemerintah

Sumber:

 

Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, pengembangan masyarakat dan intervensi komunitas: pengantar pada pemikiran dan pendekatan praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Ekowati, Lilik. 2005. Perencanaan, Implementasi dan Evaluasi atau Program. Surakarta : Pustaka Cakra

Gonggong, Anhar. 1985. Mohammad Husni Thamrin. Jakarta: Departemen P & K.

KH, Ramadhan. (1992). Bang Ali Demi Jakarta (1966-1977). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI.

Nugroho, Riant. 2003. Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Jakarta: Sekretariat Jendral DPR RI.

KEBIJAKAN DAN PEMBANGUNAN SOSIAL

Pengalaman pembangunan di negara negara berkembang menunjukkan pembangunan memberikan hasil lebih yang lebih baik jika berbagai dimensi pembangunan ditangani secara seimbang dan proporsional. Pengalaman tahap-tahap awal pembangunan di tahun 50an dan 60an  memberi pelajaran bahwa aspek-aspek lain selain aspek ekonomi harus mendapat perhatian bila ingin pembangunan berhasil mencapai tujuan yaitu mengejar ketertinggalan dan mewujudkan kesejahteraan yang adil dan merata. Pendekatan sosial harus diterapkan bersamaan dengan pendekatan ekonomi dalam strategi pembangunan yang merupakan dua sisi mata uang yang sama, keduanya harus dirancang dan dilaksanakan secara seimbang, saling mengisi, saling melengkapi dan saling memperkuat

Perkembangan konsep-konsep pembangunan

Pembangunan sebagai upaya mengejar ketertinggalan dan menciptakan kehidupan yang sejahtera sesuai dengan martabat kemanusiaan telah dijalankan oleh negara-negara berkembang yang umumnya bekas negara-negara jajahan dilaksanakan tidak hanya dengan memanfaatkan sumberdaya yag dimiliki tapi juga dengan bantuan dan kerjasama internasional. Hampir tidak ada negara berkembang yang membangun tanpa ada bantuan atau keterlibatan negara atau lembaga dari luar.

Terutama di negara-negara bekas jajahan karena kelangkaan sumberdaya baik modal, teknologi, terutama manusia, kekurangan lembaga sosial yang memadai termasuk aparat kenegaraan pada awalnya sangat tergantung pada bantuan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional seperti PBB dan badan-badannya serta lembaga pembiayaan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Pada tahap awal yaitu tahun 1950an dan 1960an perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di negara-negara berkembang sangat tergantung pada para ahli dari negara-negara maju serta tenaga ahli dari negara-negara berkembang yang mengikuti pendidikan di negara maju. Mereka pada umumnya menerapkan resep-resep pembangunan berdasarkan pengalaman empiris negara-negara maju dan teori-teori yang dikembangkan atas dasar pengalaman tersebut.  Keberhasilan rencana Marshall untuk membangun kembali eropa PR reruntuhan Perang Dunia II juga keberhasilan rehabilitasi jepang memperkuat keyakinan akan pendekatan pembangunan berdasarkan pengalaman negara maju itu.

Pendekatan pembangunan tersebut terutama bertitik berat pada pembangunan ekonomi dengan asumsi bahwa hasil pembangunan ekonomi akan meningkatkan kesejahteraan dan menghapus kemiskinan. Berdasarkan pandangan tersebut investasi modal dalam skala besar dan penerapan teknologi modern akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, menyerap angkatan kerja, subsistem kelapangan kerja modern atas dasar upah dan secara bertahap akan menghilangkan kemiskinan. Pola yang ditempuh adalah proses industrialisasi yang dialami negara-negara maju yang telah menghasilkan peningkatan  taraf hidup yang cepat dan telah menghilangkan (kalaupun masih ada relatif kecil) kemiskinan sub sistem (Hardiman dan Midgley, 1982).

Sasaran yang penting adalah mencapai kemampuan untuk mandiri dalam melanjutkan pembangunan atau mencapai kondisi yang disebut take off atau lepas landas.

Kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak negara meskipun dengan investasi modan dan penerapan teknologi modern tidak mampu menghasilkan pertumbuhan pada tingkat cukup memadai untuk mencapai tahapan lepas landas tsb. Bahkan di beberapa negara yang mencatat pertumbuhan tinggi sekalipun kondisi tersebut tidak terwujudkan yang terjadi adalah ketergantungan atau keterikatan hutang yang makin besar.

Keadaaan yang lebih buruk lagi tercermin pada makin melebarnya kesenjangan, karena kegiatan yang menghasilkan pertumbuhan hanya melibatkan sebagian kecil masyarakat dan umumnya di wilayah terbatas maka hasil yang diperoleh hanya dinikmati sebagian kecil dari dan di wilayah tertentu saja.

Beberapa studi menunjukkan adanya proses pemiskinan atau marjinalisasi. Pertumbuhan ekonomi dan penerapan teknologi di banyak negara justru memperbesar jumlah orang miskin karena proses pembangunan dan modernisasi membutuhkan sumberdaya seperti tanah dan menitikberatkan pada efisiensi yang antara lain dihasilkan melalui persaingan sehingga masyarakat miskin kehidupannya lebih buruk daripada sebelum pembangunan. Selain itu adanya bahaya perusakan alam yang dapat mengganggu kelanjutan kehidupan manusia karena pembangunan yang memberi penekanan yang berlebihan kepada pertumbuhan karenanya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan semata.

Dalam pemecahan masalah-masalah pembangunan selain upaya pertumbuhan ekonomi diperlukan juga pembangunan berorientasi kepada manusia yang dikenal dengan berbagai nama . Pembangunan ekonomi diyakini tetap diperlukan tapi harus serasi dengan pembangunan sosial yang fokusnya kepada manusia dan kualitas kehidupannya.

sumber:

Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Lembaga Penerbitan FEUI. Jakarta

Huda, Miftahul.2009. Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial: Sebuah Pengantar. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.

Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta

Jakarta, Kota Tertinggi Jumlah Pengguna Narkoba

JAKARTA – Di Indonesia tak ada satupun tempat yang bebas dari penyalahgunaan narkoba. Jakarta menempati peringkat pertama kota dengan pengguna narkoba terbanyak.

Hal itu dikatakan Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumirat. “Di indonesia khusunya Jakarta setiap tempat ada pengguna narkoba. Di Jakarta ada sekira 280 orang pengguna narkoba,” kata dia saat berbincang dengan okezone, Kamis (26/1/2011).

Data tersebut berdasarkan hasil penelitian BNN bersama pusat kesehatan Universitas Indonesia (UI) pada 2008 lalu. Melihat data yang dimiliki BNN, angka pengguna narkoba selalu meningkat setiap tahunnya.

Pada 2004, di Indonesia diperkirakan ada sekira 3,2 juta jiwa penyalahgunaan narkoba. Kemudian pada 2008 angka tersebut meningkat drastis sekira 3,6 juta jiwa, 900 diantaranya masuk dalam kategori pecandu dan pada 2011 ada sebanyak 3,8 juta jiwa menjadi penyalahguna narkoba.

“Mudah-mudahan pada penelitian berikutnya dengan program yang sedang kita kampanyekan bisa menekan angka penyalahgunaan narkoba,” cetusnya.

Angka meninggal akibat bahaya mengkonsumsi narkoba juga cukup mencengangkan. Bayangkan setiap tahun sebanyak 15 ribu orang tewas sia-sia karena narkoba. Dari latar belakang, kelompok pekerja formal atau informal sangat rentan dengan penggunaan narkoba.

Mahasiswa atau kelompok pelajar juga menjadi sasaran empuk penyebaran narkoba. “Kalau bicara tempat, semua tempat sangat rentan dengan narkoba. Angka tersebut masih sangat memprihatinkan,” ujarnya.

Sumirat menjelaskan, pemakai narkoba diklasifikasikan dalam beberapa tingkat. Orang yang masuk dalam kategori penyalahguna adalah yang coba-coba mengkonsumsi narkoba. “Setahun, orang yang masuk dalam kelompok ini mengkonsumsi narkoba tidak lebih dari lima kali,” ujarnya.

Kelompok kedua yakni teratur pakai, dalam setahun bisa menggunakan narkoba lima puluh kali atau setiap minggu. Yang paling parah adalah pecandu. “Orang yang sudah pecandu bisa setiap jam menggunakan narkoba,” paparnya.

Untuk mengurangi pengguna narkoba, tambahnya, presiden telah mengeluarkan inpres nomor 12 tahun 2011 tentang pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional di bidang pemberantasan peredaran dan penyalahgunaan narkoba.

“Kita juga meningkatkan imunitas masyarakat dengan memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya narkoba,” pungkasnya.

Kecelakaan maut Daihatsu Xenia yang terjadi di Jalan Ridwan Rais, Gambir, Jakarta Pusat pada Minggu lalu, seakan membuka mata kita betapa berbahayanya menggunakan narkoba.

Terlebih jika dalam keadaan berkendara seperti yang dialami Afriani Susanti, sopir mobil Daihatsu Xenia B 2479 XI. Sebelum menabrak belasan pejalan kaki tak jauh dari tugu tani, Afriani dan tida rekannya diketahui selesai pesta miras dan narkoba.

 

sumber: http://news.okezone.com/read/2012/01/26/338/563575/jakarta-kota-tertinggi-jumlah-pengguna-narkoba

Refleksi Kebijakan Program Perbaikan Kampung Terpadu (MHT Plus) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta

Jakarta, walaupun mendapat predikat kota –Mega Politan-, namun nyatanya masih memiliki permasalahan pada permukiman, yakni masih banyaknya terdapat permukiman kumuh yang menghiasi sudut-susdut kota Jakarta. Dalam acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) DKI Jakarta di Balaikota, Selasa, 5/5/2009, terpaparkan bahwa jumlah RW Kumuh di Provinsi DKI Jakarta berjumlah sekitar 265 RW[1]. Di Jakarta Barat terdapat 97 RW kumuh yang berada di 40 Kelurahan dan 8 Kecamatan, di Jakarta Timur, terdapat 51 RW kumuh. Di Jakarta Pusat sebanyak 69 RW, terdiri dari 24 Kumuh Ringan, 41 Kumuh Sedang dan 4 Kumuh Berat. Sedangkan di Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, dari total 24 RW terdapat 4 RW termasuk RW Kumuh. Di Jakarta Utara berdasarkan data pada 2008, terdapat 79 RW kumuh. Adapun di wilayah Jakarta Selatan terdapat 44 RW kumuh, terdiri dari 31 RW Kumuh Sedang dan 13 RW Kumuh Ringan.

Untuk mengatasi hal-hal tersebut Pemerintah DKI Jakarta melakukan berbagai macam upaya untuk menanggulangi permasalahan yang ada. Diantara program yang dilaksanakan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk menanggulangi permasalahan permukiman adalah dengan digulirknnya program perbaiakan kampung terpadu atau yang lebih dikenal dengan nama Program Muhammad Husni Thamrin (MHT). Program Muhammad Husni Thamrin (MHT) merupakan program yang digulirkan dalam rangka mewujudkan visi jakarta (2007-2012) yaitu “Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”. Untuk mewujudkan visi yang ditetapkan, maka misi yang digagas adalah : Membangunan tata pemerintahan yang baik dengan menerapkan kaidah-kaidah “good governance”; melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima; memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian pembangunan; membangun prasarana dan sarana kota yang menjamin kenyamanan, dengan memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan; menciptakan lingkungan kehidupan kota yang dinamis dalam mendorong pertumbuhan dan kesejahteraan[2].

 

 

Sejarah Program MHT Jakarta

Program peningkatan kampung atau yang biasa dikenal sebagai proyek Muhammad Husni Thamrin merupakam suatu program yang digulirkan sejak tahun 1969 oleh pemerintahan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin. Pada awalnya nama dari program ini adalah pembangunan kualitas kampung ( kampung improvement project – Jakarta Urban Development Project/ JUDP). Focus dari program ini adalah penataan pemukiman kumuh yang berada di wilayah Jakarta. Program ini terus berkembang dan dikembangkan hingga hari ini dan kemudian dikenal dengan nama kampung improvement program/Project Muhammad Husni Thamrin (KIP/MHT). Awalnya program ini berfokus pada pembenahan sarana dasar fisik saja namun kemudian fokusnya lebih holistic dengan konsep Tri Binanya yaitu bina sosial, bina ekonomi, dan bina fisik.

Program perbaikan kampung ini, yang dilakukan semenjak gubernur Ali Sadikin memerintah didasarkan pada program pemerintah Belanda yang dinamakan dengan kampoengverbetering yang dilaksanakan di Batavia sejak tahun 1934. Kemudian Gubernur Ali Sadikin melanjutkan program belanda tersebut ditahun 1969. Pada tahun 1969, 60% (sedikitnya 3 juta jiwa) dari 4,8 juta penduduk Jakarta, hidup di permukiman kumuh. Menghadapi masalah itu, diperkenalkan proyek perbaikan kampung bernama Proyek Muhammad Husni Thamrin yang berlangsung dengan sukses sampai 1999. Paradigma terhadap kampung yang semula dianggap bermasalah, akhirnya memiliki jalan keluarnya; apa yang dinamakan Turner dengan urban sebagai solusi (urban as solution), sebuah pendekatan yang melibatkan komunitas, sehingga model pembangunan ini dikenal sebagai pembangunan partisipatif.

Proyek Muhammad Husni Thamrin (MHT) berkembang dari 1969 sampai 1999. Badan-badan internasional, seperti Bank Dunia dan UN Habitat, menilainya sebagai proyek yang berhasil memperbaiki kualitas lingkungan kumuh dan kualitas hidup penghuninya, dengan biaya rendah. Tidak kurang dari 5,5 juta penduduk Jakarta menerima manfaat dari model pendekatan ini. Dalam lingkup nasional, setidaknya 15 juta penduduk yang diam di lebih dari 400 kota di Indonesia menerima manfaat serupa.

Sejak awal, misi proyek MHT adalah investasi kemanusiaan, atau perbaikan sosial (social betterment) menurut Melvin Mark, yang dijabarkan sebagai kebijakan/program sosial (social policy/program). Proyek yang dicetuskan pada 1969, yang mengangkat nama baik kota Jakarta dan pemerintah Indonesia saat itu, sampai saat ini, oleh dunia manajemen perkotaan, masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menangani masalah permukiman perkotaan. Keterbatasan dana, majemuknya masalah perkotaan, dan penduduk kota yang terus bertambah, merupakan tantangan yang dihadapi pada waktu itu, juga sampai saat ini. Proyek MHT tidak sekadar perbaikan fisik, melainkan seperti yang dikatakan oleh mantan Gubernur Ali Sadikin pada 1977, “Saya berpendapat bahwa kelompok penduduk yang terpaksa harus menempati perkampungan di sela-sela bagian kota yang terbangun rapi itu adalah justru warga kota yang lebih membutuhkan perhatian untuk menikmati hasil pembangunan”.

Dimulainya proyek MHT pada 1969 merupakan tonggak sejarah perubahan dalam tata-ruang maupun manajemen perkotaan. Seperti peristiwa di Eropa Barat setelah revolusi industri, yaitu berubahnya asas perencanaan birokrasi (bureaucracy planning) ke perencanaan advokasi (advocacy planning), proyek MHT merupakan suatu pengakuan atas keberadaan permukiman kampung sebagai bagian dari rajutan perkotaan (urban fabric). Permukiman informal yang terbentuk itu, dilengkapi dengan layanan perkotaan (urban services), seperti prasarana, sarana, fasilitas sosial, dan fasilitas umum.

Pada 1980, proyek MHT meraih penghargaan dari Yayasan Aga Khan. Pada Pelita III, model pendekatan ini diangkat pemerintah pusat sebagai kebijakan nasional dalam menangani perumahan dan permukiman perkotaan. Pada Konferensi Habitat II di Istanbul, Turki pada 1996, proyek ini masih dianggap sebagai proyek yang tepat dalam menyelesaikan masalah permukiman di negara-negara berkembang. Juga dalam pembukaan Aliansi Kota (Cities Alliance) di Washington DC pada 1999, proyek ini pula yang masih disebut-sebut sebagai proyek yang dapat diandalkan. Sampai 2004, Wolfensohn, Presiden Bank Dunia, menyatakannya sebagai Praktik Global Terbaik. Sesuai dengan pendapat Sach, untuk memperbaiki kekumuhan dan kemiskinan, layanan dasar perkotaan harus dibangun, terutama prasarana, sanitasi, dan air bersih. Dalam proyek MHT, komponen proyek dilengkapi dengan pembangunan fasilitas pendidikan (gedung sekolah dasar) dan fasilitas kesehatan (Puskesmas).

Pada tahun 2005, dikembangkan kembali persiapan KIP/PMHT dengan paradigma baru yang dikenal dengan nama “dedicated program”dan setahun kemudian di tahun 2006, telah diuji praktekkan pada 5 wilayah DKI Jakarta dengan skala lokasi terbatas dan jumlah dana yang besar. Kegiatan tersebut mendapat penilaian cukup berhasil dan memberikan tingkat perubahan yang signifikan, baik pada kondisi fisik lingkungan maupun perkembangan sosial masyarakat pada lokasi program. Tahun 2007, berdasarkan keberhasilan dedicated program 2006, maka dilanjutkan dengan perbaikan kampung terpadu. Lokasi sasaran adalah 5 wilayah yang sama dengan tahun 2006. Hasil pelaksanaan pada lokasi tersebut memperlihatkan keberagaman antara satu wilayah dengan wilayah lain. Hal keberagaman hasil ini, pada satu sisi dapat menunjukkan indikator input dan proses pelibatan masyarakat secara maksimal, namun pada sisi yang lain dapat juga dilihat sebagai adanya keniscayaan perbedaan dalam pemahaman, konsep, pendekatan, dan metode pelaksanaan di lapangan.

Pendekatan dalam program MHT perbaikan kampung terpadu

Dalam melaksanakan program MHT perbaikan kampung terpadu ini (sebagai contoh di kelurahan Kebon Baru tahun 2008)  pendekatan yang digunakan oleh pemerintah dan konsultan yang mendampinginya menitik beratkan pada pengembangan komunitas terpadu dengan sasaran pada aspek ekonomi, sosial dan kelembagaan serta aspek fisik lingkungan yang terfokus pada penguatan peran aktif masyarakat dalam pengelolaan secara mandiri sehingga bersih, sehat dan nyaman. Upaya pendampingan masyarakat dalam perbaikan kampung pada hakekatnya adalah merupakan upaya penguatan bagi kelembagaan warga di tingkat local.

Pendampingan masyarakat lebih dibutuhkan untuk membentuk kembali komunitas sebagai tempat bagi pengalaman manusia dan bertemunya kebutuhan manusia daripada sesuatu yang lebih luas, lebih tidak manusiawi dan struktur-struktur yang tak terjangkau. Pengalaman dan pergaulan manusia secara alamiah adalah kompleks, namun seringkali berbagai program pendampingan pengembangan masyarakat mencoba membentuk landasan komunitas yang lebih kokoh bertumpu pada aspek tunggal dari keberadaan manusia dan menolak aspek lainnya. suatu pendampingan pengembangan masyarakat yang berakar pada kerja sosial akan berkonsentrasi pada penyediaan layanan manusia bertumpu pada masyarakat dan mengabaikan basis ekonomi komunitas yang bekerja atas asumsi bahwa dari pengembangan ekonomi akan memicu perkembangan hal yang lainnya, dengan demikian mereka mengabaikan kebutuhan-kebutuhan sosial. Besar kemungkinan pengembangan masyarakat berdimensi tunggal seperti ini akan mengalami kegagalan.

Jim Ife dalam bukunya community Development : Creating Community, alternative vision, analysis and practices, mengidentifikasi pengembangan terdiri atas enam dimensi dan keenamnya merupakan dimensi yang penting secara kritis keenam dimensi itu tersebut tidak selalu tersekat-sekat dan berinteraksi satu dengan yang lain secara kompleks. Sering diperdebatkan bahwa satu dimensi lebih mendasar dari dimensi lainnya namun bagi kebutuhan pembentukan suatu model pengembangan komunitas dan dengan merenungkan peran pendamping masyarakat adalah sangat bermanfaat untuk secara mendasar menganggap keenam dimensi tersebut sebagai suatu hal penting, keenam dimensi itu adalah pengembangan sosial, ekonomi, politik, budaya, lingkungan, pribadi/spiritual.

Dalam melaksanakan programnya, pemerintah juga mengembangkan konsep tribina menjadi tridaya. Tridaya bertujuan untuk melahirkan masyarakat yang mempunyai keberdayaan dalam dirinya untuk memperbaiki dan memelihara serta mengembangkan fisik permukiman dan lingkungannya, untuk melakukan kegiatan ekonomi guna pemenuhan kebutuhan rumah tangga serta untuk meningkatkan keberdayaan dirinya sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat agar dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan sosialnya. Untuk itu perlu dilakukan pendampingan melalui program pemberdayaan masyarakat dalam suatu rangkaian program terintegrasi yang jelas dan berkesinambungan. Inti dari tridaya adalah partisipasi masyarakat, yang diturunkan menjadi:

  1. Pemberdayaan sosial kemasyarakatan yang mungkin lebih tepat disebut sebagai suatu model proses prakondisi, yang mendorong mereka untuk dapat mengekspresikan diri dan aspirasinya dengan mengikatkan diri ke dalam suatu kelompok
  2. Pemberdayaan kegiatan ekonomi sebagai wahana rasional untuk mensejahterakan diri dan kelompok
  3. Pemberdayaan prasarana dan sarana lingkungan untuk mempercepat tumbuh dan berkembangnya kegiatan usaha ekonomi yang mendukung upaya mensejahterakan diri dan kelompok, maka kondisi prasarana dan saran lingkungan harus ditingkatkan.

Program MHT dan permasalahan yang menyertainya

Program MHT yang telah dinilai berhasil oleh badan-badan dunia dan oleh para ahli perkotaan ternyata pada kelanjutan program di tahun berikutnya mengalami berbagai macam masalah. Perkembangan model yang dilakukan dalam program MHT dilakukan karena disadari bahwa perkembangan kota Jakarta yang sedemikian cepat dibutuhkan suatu respons dan program yang tepat guna dan sasaran dalam rangka menanggapi perkembangan tersebut. Maka dari itu program MHT dikembangkan untuk menyesuaikan perubahan zaman. Program MHT berkembang menjadi MHT perbaikan kampung terpadu . konsep baru ini dikenal pada tahun 2007 yang sebelumnya sudah diawali pada tahun 2006 melalui MHT  “dedicated programe”. Namun pada pelaksanaannya terdapat berbagai macam perbedaan dalam pencapaian hasil. Oleh karenanya pada hasil laporan tentang perbaikan kampung tahun 2008 yang dikeluarkan oleh PT Wahana Prakarsa Utama sebagai konsultan  Dinas Perumahan Pemda Jakarta Pusat, menyimpulkan perlunya keseragaman tentang konsep pengembangan MHT tentang perbaikan kampung terpadu.

Permasalahan berikutnya adalah belum adanya pedoman baku tentang perbaikan kampung terpadu. Pentingnya pedoman baku adalah sebagai arahan terhadap pelaksanaan di tingkat lapangan. Lalu permasalahan berikutnya adalah belum terujinya perbaikan kampung terpadu pada saat ini sebagai solusi pemecahan bidang perumahan di DKI Jakarta. Kita semua menyadari bahwa permasalahan yang ada di Kota Jakarta sudah sedemikian kompleks, diantara masalah-masalah itu adalah masalah perumahan, sosial, banjir, sampah, sanitasi, air bersih, penghijauan, pengelolaan limbah rumah tangga dan transportasi. Program perbaikan kampung terpadu yang telah dilaksanakan pada 5 wilayah di DKI Jakarta selama 2 tahun berturut-turut yaitu pada tahun 2006 dan 2007 memang telah memberikan perubahan fisik lingkungan maupun sosial namun masih perlu dikaji lebih mendalam lagi apakah program ini kontributif untuk menjadi alternative solusi bagi permasalahan penataan lingkungan pemukiman dan perumahan di DKI Jakarta.

Di lain pihak, warga DKI Jakarta menganggap bahwa program MHT yang dilakukan oleh pemerintah selama 5 tahun ini dianggap jalan di tempat. Hal ini di ungkapkan oleh warga kelurahan Manggarai Selatan. Warga menganggap bahwa program perbaikan kampung terpadu tidak sepenuhnya berhasil dan penanganan masalah perkampungan kumuh pun tidak sepenuhnya tuntas ditangani walaupun tetap mendapatkan Piala Adipura untuk tujuh kali. Menurut Rosmanah-salah seorang warga perkampungan di Jakarta, tak masalah mengejar prestasi kebersihan, tapi yang perlu diperhatikan adalah mengurangi kemiskinan dan kekumuhan di kawasan padat penduduk. “Kekumuhan di satu lokasi tentunya membawa dampak yang banyak bagi lingkungan sekitar,” ujarnya. Rusdi, warga Tegal Parang, menilai penataan lingkungan kumuh tak berhasil. Buktinya, di wilayahnya masih ada tiga RW yang masuk kategori RW kumuh. Bapak dua anak ini, menilai kinerja serta program Walikota Jaksel menuntaskan kemiskinan serta kekumuhan selama lima tahun belakangan tak berhasil. “Terkesan pejabat di Pemkot Jaksel tak banyak turun ke lapangan untuk meninjau lokasi yang kumuh dan padat penduduk,” imbuhnya.[3]

Perubahan kebijakan: Dari perbaikan kampung ke pembangunan rumah susun

Pada tahun 1985, peremajaan perkotaan dilaksanakan di Kecamatan Tambora dan kemudian di Karang Anyar, setelah yang terakhir ini tertimpa musibah kebakaran. Tujuan pembangunan rumah susun adalah pengentasan kemiskinan dan kekumuhan. Apa yang terjadi kemudian, dalam waktu singkat, adalah munculnya pergeseran kelompok sasaran. Lebih daripada 90% penghuni rumah susun ternyata adalah golongan menengah, dan ini berarti pemerintah memberikan subsidi terus-menerus terhadap kelompok yang seharusnya tidak perlu dan tidak pantas mendapatkannya. Rumah susun kemudian menjadi monumen kekumuhan bertingkat, yang berarti tidak berkelanjutan dan memerlukan subsidi terus-menerus.

Dalam pelatihan-pelatihan manajemen perkotaan internasional, di manapun, selalu disarankan untuk tidak mengambil Singapura, Hong Kong, Korea Selatan, dan Israel, sebagai acuan dalam kebijakan perumahan dan permukiman, karena negara-negara itu memiliki pendapatan domestik bruto yang tinggi, selain ada keterbatasan lahan. Kondisi sosial, ekonomi, budaya, dan politik mereka berbeda dengan Indonesia.

Sejak 2000, tidak ada proyek MHT. Sebaliknya, pembangunan rumah susun terus digalakkan. Pada sektor swasta, pembangunan perumahan mewah bermunculan di segenap penjuru kota, menawarkan permukiman bernuansa modern, seakan-akan di dalam kota Jakarta tidak terdapat masalah permukiman. Terjadi kesenjangan yang mencolok, di mana di satu pihak permukiman formal dimanjakan, sedang permukiman informal diterlantarkan. “Sementara karya perancang dan arsitek diperuntukkan bagi golongan menengah dan tinggi, orang miskin dibiarkan memikirkan nasib mereka sendiri”

 

MHT dan Harapannya di masa yang akan datang

Program yang digulirkan oleh pemerintah DKI Jakarta untuk melakukan penataan terhadap lingkungan kumuh memang telah mendapatkan berbagai macam pengakuan akan keberhasilannya dari dalam maupun luar negeri, namun begitu keberhasilan program MHT di masa yang lalu mendapat tantangan di masa kini dengan adanya perubahan zaman dan suasana kota Jakarta yang semakin berkembang. Jika pada awal program MHT digulirkan hingga hari ini, penekanan dari program ini lebih menitik beratkan pada pembangunan fisik dan infrastruktur, maka program-program MHT selanjutnya juga harus mulai merambah kepada pembangunan masyarakat (community Development) secara seimbang dan berkelanjutan.

Program MHT diharapkan tidak hanya mampu membangun sarana-sarana fisik dari sebuah lingkungan namun juga program ini diharapkan mampu membangun masyarakat, baik secara individual maupun komunal yang tinggal dalam lingkungan tersebut. Perlu disadari bahwa sebuah pemukiman walaupun secara empirik adalah lingkungan fisik namun sebenarnya pemukiman itu adalah sebuah lingkungan budaya yang penciptaan dan penataannya dilakukan dengan berpedoman kepada suatu kebudayaan, digunakan untuk tinggal dan hidup bersama bagi kebutuhan-kebutuhan untuk dapat melangsungkan kehidupan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah kebutuhan primer (yang kemunculannya bersumber pada aspek-aspek biologi/organism tubuh manusia), sekunder (yang terwujud sebagai akibat dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer yang tidak dapat terpenuhi secara individual tetapi harus dalam kehidupan sosialnya), dan kebutuhan tersier (yang lahir dari usaha-usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer dan sekunder, yang menuntut terwujudnya keteraturan dan ketertiban moral dan sosial, keindahan, dan estetika pada umumnya, dan kebutuhan-kebutuhan tersier inilah yang mengintegrasikan tindakan-tindakan manusia dalam usaha-usaha pemenuhan kebutuhan primer dan sekundernya). Selain itu pemukiman juga harus disadari sebagai suatu lingkungan politik dan ekonomi. Oleh karenanya pembangunan pemukiman harus selalu dilihat dari sudut manusia, fisik, sosial, budaya, politik  dan ekonomi, diharapkan dengan cara pandang yang holistic seperti itu suatu pemukiman yang aman, nyaman dan tenteram dapat terwujud

Referensi

Adi, Isbandi Rukminto. 2003. Pemberdayaan, Pemgembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga FEUI

Ala, Andre Bayo. 1981. Kemiskinan dan Strategi Memerangi Kemiskinan. Yogyakarta: Liberty

Ife, Jim. 1995. Rethinking Sosial Work: Towards Critical Practise. South Melbourne: Longman

Ife, Jim. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ramadhan. 1992. Bang Ali Demi Jakarta (1966-1977). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


[1] Laporan  Musrembang Kanpekko DKI Jakarta, 2009

[2] RPJMD Provinsi DKI Jakarta, 2007

[3] www.beritabatavia.com. Di akses 15 Juli 2010